Rabu, 15 September 2010

dari Lala

“Bapa, Engkau sungguh baik, kasihMu melimpah di hidupku..”

Suara setengah merdu Lala memenuhi ruangan kamarnya di pagi yang indah hari ini. Sementara Ia bernyanyi, tangannya sibuk merapikan rambut panjangnya di depan cermin.

“hoaaammm…”

Sesekali Lala menguap hingga matanya yang berwarna coklat tua berkaca-kaca.Seperti biasa, Ia tidur larut malam meskipun harus kuliah pagi hari.

Ya, itulah Lala Kristanti yang biasa disapa Lala. Ia seorang gadis mandiri yang saat ini sedang berkuliah di salah satu Universitas negeri di Jakarta. Lala dikenal sebagai anak yang cerdas, cantik, dan ceria oleh teman-teman serta keluarganya, namun di balik semua itu Lala hanya seorang anak yang kesulitan menemukan jati dirinya. Ia tidak benar-benar yakin ada bakat tertentu dalam dirinya, seperti halnya teman-teman yang saat ini sudah sibuk mengembangkan bakat masing-masing, mulai dari menggambar dan melukis, mendesain, bermain musik, dan lain sebagainya. Tidak jarang Lala merasa terpuruk karena memikirkan hal itu. Sungguh bukan Lala yang tampak dari penampilan luarnya.

“oke, saatnya berangkat, “ Lala mengambil tas dan segera berangkat ke kampus yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.

***

Malam menjemput dan Lala berkutat dengan layar komputernya. Jari-jarinya menari lincah di atas keyboard komputer. Suara gemuruh petir yang bersahut-sahutan menemani pikirannya bermain dengan semangat menggebu yang tersimpan dalam dirinya. Lala mendapat jawaban atas doanya. Ia menyadari satu kehendak Tuhan dalam hidupnya, satu berkat Tuhan yang selama ini sulit untuk dilihat dan dirasakannya, meskipun sudah sering kali dilakukannya. Obrolan dengan sahabatnya, Maya, siang itu di kampus membuka matanya, menyadarkannya pada berkat Tuhan yang sering tidak dihiraukannya dan tidak disyukurinya. Malam ini Lala menyalurkan berkat itu, menuangkannya dalam bentuk kata-kata yang memang menjadi dunianya. Ya, Lala menyadari satu bakatnya, menulis.

cukup lama berputar-putar dalam lingkaran tak berujung di dalam ruang pikiran

terjatuh, lalu bangkit, dan kemudian terjatuh lagi

sampai tubuh lelah lebam dan terkulai

terdiam

membiarkan cahaya meruntuhkan lingkaran tak berujung yang kubentuk sendiri

memberi kesempatan pada angin yang ingin membagikan sapaannya lembut

sampai aku terhanyut

cukup lama berputar-putar dalam lingkaran tak berujung di dalam ruang pikiran

sampai sebuah suara lembut membangunkan dan menunjukkan arah

sebuah suara yang menggerakkan langkah

membentuk sebuah ruang baru dalam pikiran

ruangan yang ingin terus diisi dan ditumpahkan

sebuah ruangan yang kusadari sebagai duniaku

disinilah aku, di duniaku

ini ruanganku, bagianku, duniaku.

ya, ini duniaku.

suara itu meyakinkanku

menggelitikku untuk mengisi duniaku.

dunia indah singgasanaku.

Lala mengakhiri tulisan singkatnya, tersenyum manis, beranjak dari tempat duduknya, mengambil Alkitab, duduk di atas kasur, kemudian berdoa.

***

“Apa? gue nulis di buletin?” Lala berkata dengan suara melengking di sela-sela waktu makan siangnya.

“Iya, gimana?” Maya menjawab santai sambil tersenyum.

“Aduh, gimana ya, kan ga gampang juga, May.. Tega banget deh sama gue,” Lala memelas

“Bisa kok, pasti bisa. Coba nulis cerpen aja,” Maya berusaha meyakinkan Lala.

“Ya, ntar dulu deh,” Lala menutup pembicaraan dengan bibir yang sedikit manyun. Ia tidak siap dengan tawaran yang diberikan Maya selaku pengurus Buletin Rohani di kampus.

Sesampainya di kamar, Lala membaringkan tubuhnya di atas kasur empuknya. Remote TV yang tergeletak di meja kecil samping tempat tidur pun disambar dengan cepat untuk menemaninya menghilangkan rasa lelah. TV yang semula hanya diam membisu akhirnya mulai berceloteh ini itu mengisi pendengaran dan penglihatan Lala.

“ckckck, film apa aja sih yang ada disini,” Lala gemes dengan siaran TV yang tidak bisa memuaskan keinginannya, hingga perhatiannya tertuju pada satu siaran di TV. Acara yang ditayangkan benar-benar mencuri perhatiannya dan mengubah jalan pikirannya.

***

“Ini May, lihat dulu,” Lala tersenyum senang sambil menyerahkan tiga lembar kertas yang dipenuhi tulisan kepada Maya.

“Apaan nih?” Maya berkata bingung. Tangannya menerima kertas yang diberikan Lala, membaca tulisannya sekilas, kemudian tersenyum senang.

“Nah loh, ini buat buletin ya?” Senyum Maya tidak bisa hilang sambil matanya terus memperhatikan tulisan pada lembaran-lembaran kertas yang dipegangnya.

“Yoha. Ntar kalau ada masukan bilang aja ya,” Lala senang melihat ekspresi sahabatnya.

“Maaf ya kemaren gue sempat menolak dan kesal,” Lala melanjutkan.

“Abisnya gue bingung mau nulis apa, secara gue juga baru sadar sama kemampuan menulis gue. hehe..”

“Uhm, kenapa lo jadi tiba-tiba mau gini?” Maya bertanya penasaran.

“Hehe, kemaren pulang kuliah gue nonton siaran televisi. Bagus deh May..Kisah seorang bapak yang udah cacat dari lahir tapi akhirnya bisa sukses melalui bakat yang dimilikinya. Awalnya sih bapak itu ga sadar akan kemampuannya. Dulu juga dia minderan karena kondisinya, apalagi setelah ibunya meninggal, bapak itu sering mengurung diri, ga peduli sama dunia luar,” Lala bercerita panjang lebar.

“Terus, terus?” Maya bertanya penasaran.

“Bapak itu mulai sadar setelah baca buku harian Ibunya. Ternyata ibunya menulis kalau Dia sangat bersyukur memiliki bapak itu sebagai anaknya walaupun kondisinya tidak seperti anak normal lainnya. Ibunya juga nulis kalau Dia berharap si Bapak itu bisa jadi anak yang berguna buat orang lain, buat bangsa dan negaranya, terlebih buat Tuhan. Dan ternyata benar, bapak itu bangkit dari keterpurukannya dan mulai melihat kelebihan yang ada dalam dirinya. Mulai deh si bapak menyiar di berbagai radio dan akhirnya dia membangun usaha di bidang itu. Bapak itu salah satu pemilik radio swasta terkenal loh disini..”

“Wow, keren..,” Maya berkata takjub.

“Iya. Setelah itu gue sadar, buat apa gue menyadari bakat gue kalo ga bisa gue gunakan untuk membantu orang lain. Yaaa, gue harap sih dengan tulisan itu banyak orang yang tergerak mengembangkan bakatnya untuk membantu orang lain dan membangun bangsa kita. haha..”

“Wah, teman gue mulia sekali,” Maya memuji Lala dengan tersenyum geli.

“Sementara ini mungkin hal kecil itu yang bisa gue lakukan. Ke depannya sih gue pengen lebih maksimal lagi, bikin skenario film atau acara TV yang bisa membangun anak bangsa,” Lala berkata penuh semangat. Ia kemudian bernyanyi lembut untuk dirinya sendiri, “Ini suaraku dan tanganku, hidup ini untukMu aku persembahkan..”

***

ditulis untuk buletin PO FISIP (Angkatan) edisi September:)

Kalau bapak yang cacat sejak lahir saja mau mengembangkan bakatnya hingga menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk orang banyak, juga Lala yang baru menyadari bakatnya saja mau mengembangkannya dari hal kecil sekalipun, kenapa kamu tidak?

Lihatlah, ada sesuatu dalam dirimu yang meronta-ronta ingin disyukuri, dikembangkan, dan dimanfaatkan untuk menghasilkan sesuatu yang besar. Tapi ingat juga, sesuatu yang besar itu biasanya dimulai dari yang kecil terlebih dahulu. Jadi, jangan ragu atau malu jika kamu hanya bisa menghasilkan sesuatu yang kecil dari bakat, talenta, atau kemampuanmu karena bisa jadi hal kecil itu akan menjadi besar kemudian.

Tidak percaya? Coba saja!:)

1 komentar:

  1. I read this writing twice and still enjoyed it. How do you motivate yourself to keep on developing your talent? I'm sometimes not sure whether I can develop my talent not even sure that it is my talent. Just wonder what make you have faith in developing your talent?

    Btw, you share the same last name with my grandma... :)

    BalasHapus