Senin, 01 Oktober 2012

Cita-Citaku Setinggi Tanah

Kamu cita-citanya apa? Pengen jadi orang yang berguna? Itu sudah biasa... Cita-citamu setinggi apa? Setinggi langit? Itu juga sudah biasa... Si Agus punya cita-cita yang kata temannya "rendah tapi bikin susah", haha, tapi Agus dengan jujur menyatakan memang itulah cita-citanya. Cita-Cita Agus cuma setinggi tanah. Cerita cita-cita Agus dan teman-temannya ini ada dalam film "Cita-Citaku Setinggi Tanah" garapan sutradara Eugene Panji yang akan ditayangkan di bioskop mulai 11 Oktober 2012.

"Punya cita-cita yang tidak terdengar seperti cita-cita dan berjuang sepenuh hati untuk mewujudkannya, itu baru luar biasa. Cita-cita bukan cuma untuk ditulis saja, tapi untuk diwujudkan."
Kalimat yang bagus ini dapat kita petik dan kita lihat langsung dalam film Cita-Citaku Setinggi Tanah. Film yang sederhana namun memberi kesan dan pelajaran luar biasa. Sewaktu menonton preview nya, saya kembali dibawa menjelajahi impian dan cita-cita saya, serta usaha-usaha saya untuk mewujudkannya. Ya, benar, saya tersadar, cita-cita hanyalah tinggal cita-cita dalam angan yang tidak menjadi nyata bila tidak ada usaha untuk mewujudkannya. Di sinilah Agus sebagai tokoh utama dalam film memberi pelajaran berharga bagi penontonnya, bagaimana dia berjuang sepenuh hati mewujudkan cita-citanya yang dicap 'rendah' oleh temannya. Kebingungan dan keraguan sempat menyergap Agus ketika memikirkan cita-citanya, namun kepolosan dan kejujuran hatinya membuat Agus tidak bisa menutupi cita-cita tersebut.

Cita-Citaku Setinggi Tanah menurut saya berhasil memikat hati untuk kembali berusaha mewujudkan cita-cita. Film ini juga dapat memberikan pelajaran positif bagi anak-anak yang saat ini mungkin sedang berusaha menemukan cita-citanya sendiri. Film berdurasi kurang lebih 1,5 jam ini tidak hanya memberi inspirasi bagi anak-anak, tetapi juga mengingatkan orangtua untuk menjalankan peranannya dalam mendukung anak mengetahui, mengembangkan, serta mewujudkan cita-citanya. Siapa saja dapat menonton film ini karena nilai positif yang terkandung di dalamnya. Menontonnya bersama keluarga atau sahabat tentu akan lebih menyenangkan:-)

Tidak perlu ragu dengan kemampuan akting anak-anak dalam film ini. Meskipun mereka masih amatiran dan baru dalam dunia perfilman, namun kemampuan akting mereka sudah diasah selama setahun penuh di Yogyakarta. Semuanya dipersiapkan untuk memberikan hasil yang maksimal. Lucu, segar, penuh inspirasi, bijak, dan mencapai klimaks adalah gambaran yang dapat saya berikan mengenai film ini. Dengan menonton filmnya, kita dapat menggali kembali cita-cita kita, juga dapat membantu anak-anak yang sakit kanker untuk mencapai cita-citanya. Loh, kok bisa? Iya, dengan menonton Film Cita-Citaku Setinggi Tanah di bioskop, kita sudah memberikan donasi berupa uang tiket kita kepada Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia sebagai yayasan yang memberikan tempat tinggal selama masa pengobatan, memenuhi kebutuhan harian anak, memberikan pendidikan, dan memperjuangkan hak anak-anak yang sakit kanker agar bisa bermain dan belajar seperti anak-anak normal lainnya. Dengan kata lain, 100% hasil penjualan tiket Cita-Citaku Setinggi Tanah akan digunakan untuk membantu anak-anak yang sakit kanker melalui Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI). (cek website yayasan di sini) (FB: Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia) (Twitter: @YKAKI_Indonesia)

Menonton sambil beramal? kenapa tidak? Wujudkan cita-cita kamu dan bantu anak-anak yang sakit kanker untuk mewujudkan cita-cita mereka! :-)

Lihat trailer Cita-Citaku Setinggi Tanah di sini

Rabu, 29 Agustus 2012

Adik

Senang rasanya punya adik. Itu yang ada di pikiranku dulu, dan sekarang juga. hehe... Tapi pasti ada susahnya juga, tinggal kita maunya menikmati kesenangannya atau kesusahannya. Tidak disangka, sekarang aku punya cukup banyak orang yang kuanggap sebagai adikku sendiri. Masalahnya adalah tinggal bagaimana aku mempraktikkan anggapan 'adik sendiri' ini ke dalam tindakan yang sebenarnya. Artinya, menyayangi adik-adik tersebut layaknya adik sendiri. Hmm, sebagai seorang kakak, apa yang biasanya kau lakukan kepada adikmu? Bagaimana sikapmu kepada adikmu?

Aku sendiri sampai sekarang tidak memiliki adik kandung, padahal dulu aku sangat mengharapkannya. Sewaktu kecil, saat aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak hingga sekolah dasar, aku sering meminta adik kepada mamaku. Hahaha... Aku mau dedek bayi, yang bisa jadi saluran kasih sayangku, yang bisa aku cubit-cubit, aku cium-cium, aku peluk-peluk, bisa aku ajarin, jadi teman bermainku, teman jalan-jalan, dan bisa aku suruh-suruh, haha.. Bahkan itu masuk ke dalam doaku dulu. Ya, doa seorang anak kecil yang merindukan kehadiran seorang adik. Aku ga terlalu suka jadi anak paling kecil. Tapi itu hanyalah cerita dulu. Sekarang siapa sangka aku dikasih adik-adik, bukan adik yang sedarah daging, bukan satu ayah dan ibu, tapi yang terpenting adalah aku bisa menganggap dan memperlakukan mereka seperti adik yang sedarah daging denganku. 

Mungkin saja aku tidak dikasih adik kandung karena aku ingin diberi tanggung jawab untuk menyayangi adik-adik lainnya. Mungkin kalau dulu aku dikasih adik, aku akan fokus menyayangi adikku itu saja, tidak membagikan kasih sayang kepada adik-adik lainnya. Entahlah, itu hanya kemungkinan-kemungkinan yang aku karang sendiri di dalam pikiranku, hehe... Bagiku tidak lagi penting untuk memiliki adik kandung sekarang ini, yang penting adalah berusaha menyayangi dengan tulus semua adik-adik yang ada padaku saat ini. Adik kelompok kecil, adik sepupu, adik yayasan, adik teman, dan adik-adik lainnya. Menyayangi mereka mengajarkan dan mempersiapkan aku juga untuk menjadi orang tua kelak :-)
Bersyukurlah untuk adik-adik yang ada padamu, dan jadilah kakak yang baik bagi mereka. Bagaimana dengan kakak-kakak? masa cuma adik-adik? yaa intinya berlakulah yang sama. hee...


Cheers,
:-)

Kamis, 23 Agustus 2012

Bemo Kok Jadi Bajaj..?

Siang yang terik di Bulan Puasa lalu, aku berjalan sendirian terburu-buru menuju stasiun kereta api. Kaki melangkah panjang-panjang karena takut ketinggalan kereta. Sesampainya di stasiun, aku memang ketinggalan kereta. Tepat di depan mata kereta tujuan Tanah Abang melaju meninggalkan stasiun, dan meninggalkanku pastinya. Setelah menarik nafas panjang, aku akhirnya kembali tenang dan bisa menikmati suasana di sekitar stasiun, tapi pikiranku sedang kurang bersahabat saat itu, seperti tidak jelas, mungkin karena ada sesuatu yang cukup menggangguku sebelumnya.

Singkat cerita, aku menghabiskan waktu perjalanan sekitar 20 menit menuju stasiun akhir tujuanku. Dari sana aku masih harus menggunakan kendaraan lain untuk benar-benar sampai di tempat tujuanku. Sebelumnya aku bertanya pada salah seorang sahabat, kendaraan apa yang bisa kunaiki untuk sampai di tempat tujuan tersebut, dan dia menjawab BEMO. Ini harus ditulis dengan huruf kapital biar jelas perbedaannya. Nah, saat aku membaca tulisan itu, terpikirkan satu kendaraan sejenis BAJAJ yang berwarna biru. Tapi aku cukup ragu, sepertinya bukan itu. "Ah, kita lihat saja nanti disana," kataku dalam hati. Saat keluar dari stasiun yang pertama kali kulihat adalah BAJAJ, tapi tidak berwarna biru, melainkan oranye. Aku pun memilih salah satu BAJAJ oranye tersebut dan menyebutkan tujuanku tanpa tawar menawar harga. Sebelumnya lagi, aku juga bertanya pada sahabatku itu, berapa kira-kira biaya yang harus aku keluarkan, kemudian dia menjawab Rp 2.000. Aku heran, apa iya semurah itu. Saat itu yang ada di pikiranku adalah BAJAJ berwarna biru. Sahabatku menyakinkan aku kalau dia serius, tidak bercanda, dan aku percaya.

Dengan santai aku duduk di dalam BAJAJ oranye, menikmati suasana kemacetan di sekitarku. Tidak terasa aku sudah dekat ke tempat tujuan -yang sebenarnya masih bukan tempat tujuan akhirku-, aku menimbang-nimbang lagi berapa biaya yang harus kukeluarkan, apa iya semurah itu? Selama pengalamanku naik BAJAJ beberapa kali, rasanya tidak pernah aku membayar kurang dari Rp 5.000, walaupun jaraknya cukup dekat. "Sepertinya memang dekat sih tempat tujuanku, kalau begitu aku bayar Rp 4.000 saja, dua kali lipat dari yang dibilang sahabatku," kataku dalam hati. Kemudian aku tersenyum. Jujur saja, itu adalah senyum bangga karena aku merasa cukup baik memberikan bayaran dua kali lipat. Hahaa... Manis sekali kurasa senyumku waktu itu, dan untung saja bapak supir Bajaj tidak melihat aku senyum-senyum sendiri seperti itu. Setibanya di tempat yang aku tuju, dengan yakin aku memberikan uang Rp 4.000 yang sudah kulipat rapi kepada Bapak tersebut, lalu Bapak itu bertanya, "Berapa ini?" aku menyebutkan nominalnya. Tanpa berbicara, Bapak supir Bajaj mengembalikan uang yang aku berikan. Aku bingung, seketika itu juga menyadari ada masalah. Raut wajah Bapak itu tidak enak, sambil berkata, "Masa iya empat ribu naik bajaj dari sana?" Bapak tersebut mengemudikan bajajnya dan memarkirkannya di tepi jalan, di deretan bajaj-bajaj lainnya. Waduh, aku jadi jantungan dan sedikit kesal.

Aku menyusul Bapak itu dan bajajnya di tepi jalan. Dengan wajah yang sengaja aku bikin tegas kemudian aku menjawab, "Biasa emang segitu kok Pak dari sana." Eh, jawaban saya malah membuat si Bapak semakin kesal dan mengomel. Walaupun kesal, saya mengikuti kata hati, sepertinya memang ada yang aneh. Lalu tanpa membantah lagi saya bertanya lembut, "Jadi berapa pak?" Si bapak menjawab lima belas ribu rupiah. Kekesalanku kembali muncul, masa iya segitu mahalnya untuk jarak yang tidak terlalu jauh seperti itu. "Ah, engga segitu kok Pak." jawabku, kemudian aku berusaha menekan kekesalanku dan lebih melembutkan suara. "Ini Pak, sepuluh ribu aja ya..," Kataku setengah membujuk sambil memberikan uang sepuluh ribuan. Bapak tersebut masih mengomel-ngomel, mungkin kekesalannya belum habis. Aku merasa sepuluh ribu itu sudah pas. "Udah ya Pak, sepuluh ribu cukup kan? kan lumayan dekat Pak..," aku mulai melangkah perlahan meninggalkan Bapak itu dan bajajnya. Bapak itu masih saja mengomel, tapi raut wajahnya melembut. "Makasih ya Pak," kataku sambil tersenyum dan segera berpaling, mengambil langkah panjang meninggalkan si Bapak dan bajajnya.

Sambil melangkah, aku berpikir, benar apa yang kurasakan, tidak mungkin membayar BAJAJ hanya Rp 2.000. Kemudian aku mengingat sahabatku dan sedikit kesal. Tapi aku tidak yakin harus kesal padanya, sepertinya masalahnya ada di aku. Tanpa berpikir panjang lagi, aku mengirimkan pesan kepadanya, mengatakan aku diomelin Bapak BAJAJ karena membayar dengan jumlah tersebut. Aku memastikan lagi apa benar biayanya segitu. Sahabatku dengan yakin menjawab benar, dan dia menekankan lagi bahwa yang dimaksudnya adalah BEMO, bukan BAJAJ. Sepertinya tirai pembungkus pikiranku mulai terbuka dan aku mengenali BEMO yang dimaksud temanku. Dalam waktu 3 tahun lebih aku memang baru 2 kali menggunakan jasa transportasi BEMO itu. Begitu menyadari keanehanku itu, aku tersenyum geli bercampur miris dan kesal. Beberapa menit kemudian aku nyaris tertawa mengingatnya. Aku jadi menyesal karena sempat kesal dan agak ngotot mengatakan bayarannya yang biasa memang segitu. Oh, sungguh, saat pikiran tidak benar-benar baik lebih baik tidak pergi sendirian, tapi bersama orang yang bisa dipercaya. Dalam hati aku meminta maaf kepada Bapak supir Bajaj dan merasa bersyukur karena kejadian yang aku alami tidak lebih buruk dari itu. :D

Jumat, 10 Agustus 2012

Benarkah Itu?

Benarkah itu?
Seperti sengatan listrik yang mengalir melalui telinga dan merambat ke hati,
Membuka lorong kekecewaan yang selama ini ditutupi pintu kepercayaan.
Tertegun. Apa lagi yang bisa dilakukan?
Sedetik, dua detik, dan seperti sihir raut wajah berubah, menyembunyikan kekecewaan.
Dan kalimat tanya yang dikurung kehati-hatian merayap keluar dari mulut.
Kesadaran yang menyerang seketika entah kemana perginya.
Sebisa mungkin memegang kemudi akal pikiran dan mengikat kencang sabuk perasaan.

Benarkah itu?
Tentu saja, apa lagi yang diragukan?
Kau sudah merasakannya dulu, teriak pikiran.
Seperti kosong, tapi juga tidak kosong. Hati kecil berjalan dengan pikiran.
Tentu saja benar. Itu kenyataan. Sulitkah menghadapinya? Toh sudah berlalu seperti angin lalu.
Ya, memang berlalu, tapi pintu kepercayaan roboh dan terkuak lebar, memberi jalan masuk ke lorong kekecewaan.
Luka-luka kecil menganga, akal pikiran mengkisut lelah.
Sebegitu tidak berharga kah?

Senyum pahit menelan kekecewaan.
Adakah yang bisa dilakukan?
Yang lalu sudah berlalu, kekecewaan pun pasti akan berlalu.
Detik-detik waktu dimohon membawa sendu berlalu.
Cepat atau lambat, tiada yang tahu.
Sungguh cepatlah berlalu, sambil langkah berjalan satu-satu.

Rabu, 08 Agustus 2012

Sahabat

Apakah yang kau pikirkan jika aku mengatakan "Sahabat"? Bagaimana kau memaknai sahabat dalam hidupmu? Bagiku sederhana, sahabat adalah orang-orang yang bersamanya aku merasa nyaman, bersamanya aku dapat membagikan tawa dan tangisku, bersamanya aku tidak perlu malu bermanja-manja, dan tidak terlalu khawatir untuk menunjukkan ketegasan juga kekesalanku. Namun ada juga satu ayat Alkitab mengenai sahabat yang langsung kuingat, yaitu Amsal 17:17 "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." Saat ayat ini muncul lagi dalam pikiranku, aku sadar perlu menggaris bawahi "setiap waktu", kemudian aku merasa ini tidak begitu mudah.

Hmm, coba beralih sebentar dari ketidakmudahan itu. Jika aku mengucapkan kata "Sahabat" sekali lagi, siapakah yang pertama kali muncul di dalam pikiranmu? Awalnya aku langsung memikirkan satu orang, tapi sedetik kemudian nama-nama lain muncul, seperti tidak mau ketinggalan, bahkan wajah mereka juga langsung terbayang. Lebih jauh lagi, aku membayangkan wajah cemberut, sedih, kesal mereka saat namanya terlupakan. Bayangan-bayangan itu membuatku geli. Detik berikutnya, rasa syukur merayap ke dalam hati dan pikiranku karena Tuhan dengan begitu baiknya memberikan cukup banyak sahabat padaku.

Masih tersimpan rapi dalam ingatanku bagaimana persahabatanku sewaktu kecil, saat aku berada di bangku taman kanak-kanak. Aku bersahabat dengan satu orang teman perempuan, tapi tidak berlangsung lama karena dia dan keluarganya pindah ke tempat lain yang aku tidak tahu dimana saat itu. Dia adalah teman sebangkuku, kami mengerjakan tugas bersama, berlomba menjadi yang tercepat dan terbaik, saling membagikan makanan yang kami bawa dari rumah, saling melindungi, dan bermain bersama. Aku tahu pasti aku menyayangi sahabatku ini, dulu aku ingin selalu berbagi dengannya. Sampailah saat dia pindah, aku merasa begitu kehilangan, dan rasa sedih itu terbawa ke dalam mimpiku. Saat aku kembali mengingatnya sekarang, aku merasa cukup tergelitik. Kisah ini membuatku tersenyum, tapi juga menyisipkan pertanyaan evaluasi diri bagiku, "apakah saat ini kau memiliki kasih yang tulus murni kepada sahabat-sahabatmu seperti kasih yang kau miliki sewaktu masih kecil kepada sahabat cilikmu?" Dalam sekejap senyumku lenyap dan mulai memikirkannya.

Aku juga memiliki sahabat lain sejak kecil, sahabat perempuan. Kami bersama sampai bangku menengah pertama. Hal yang paling sering kami lakukan adalah berbagi kebahagiaan dan tawa bersama. Kami sering membuat lelucon-lelucon aneh, menertawai kekonyolan kami dan kekonyolan orang lain. Kami dikenal begitu dekat, selalu bersama saat di sekolah, dan sering janjian untuk jalan bersama. Sepertinya kami tidak terlalu sering berbagi duka karena kami cukup menikmati keseharian kami dalam kebahagiaan. Tapi kami saling menolong dalam pelajaran dan saat sakit. Teman pertama yang akan kucari adalah dia. Di usia kami waktu itu justru kami lebih sering berbagi duka dengan keluarga dan tidak mengumbarnya ke luar. 

Saat memasuki usia remaja kami mulai berbagi cerita mengenai cowok-cowok yang hadir dalam hidup kami. Dan kami bersahabat dengan lebih banyak teman. Kami sering berkumpul bersama saat jam istirahat, dan semakin seru sajalah candaan kami. Kami memiliki diary bersama. Di buku diary itu kami menuliskan semua yang ingin kami ceritakan. Menulisnya secara bergilir. Saat kami kesal kepada satu sama lain dan tidak mengungkapkannya secara langsung, kami menuliskannya disana, kemudian membacanya, membalasnya, dan kekesalan itu pun berakhir. Kebiasaan ini berlangsung sampai buku diary kami penuh. Setelah selesai bangku menengah pertama, kami berpisah dan jarang bertemu. Namun sampai sekarang kami masih mau berkomunikasi. Dari sini aku diingatkan untuk menjadi sahabat yang setia dan lebih banyak membagikan kebahagiaan kepada sahabat-sahabatku.

Saat berpisah dengan sahabat-sahabat sebelumnya, Tuhan tidak pernah berhenti memberikan sahabat-sahabat yang lain, yang penting kita mau membuka hati. Saat aku berpisah dengan sahabat-sahabatku, aku mendapatkan sahabat lainnya. Mereka semua sangat baik. Aku merasa kami berbagi duka dan suka bersama. Aku tidak lagi terlalu konyol dan menertawakan kekonyolan orang lain, mungkin dikarenakan pemikiranku yang lebih dewasa seiring pertambahan usia dan pengalaman hidup, hehe... Kami rutin merayakan ulang tahun bersama-sama. Kami berteman baik dengan teman-teman lainnya. Kami merasa cocok satu sama lain dan aku sendiri merasa sangat nyaman. 

Tidak lepas dari ingatanku saat kami mengikuti kegiatan sekolah bersama. Waktu itu kami pergi ke daerah penelitian hutan bersama teman-teman organisasi lainnya. Aku sedikit membuat kacau disini karena merusak sepeda motor orang lain yang kugunakan. Selain itu tanpa niat dan sama sekali tidak disengaja, aku juga mencelakakan salah satu sahabat yang pergi bersamaku menggunakan sepeda motor itu. Aku menangis dengan sangat hebat sekalipun hal ini tidak terlalu dipermasalahkan pemilik motor. Tapi aku merasa bersalah dan malu. Aku juga tidak tahu harus mendapatkan uang darimana untuk mengganti rugi biaya reparasinya. Di saat seperti itu sahabatku yang terluka justru tidak marah, dia berusaha menenangkanku dan membantu biaya reparasi itu dengan uang yang diberikan mamanya dulu. Sahabatku yang lain tidak pernah menjauh dariku, memelukku, dan menghiburku. Mereka berusaha memikirkan solusinya bersamaku, mengobati luka-luka yang ada di tubuhku, dan mampu membuatku menangis sambil menahan geli. Setiap kali aku mengingat itu dan mengingat ketulusan mereka, rasanya aku ingin berlari memeluk mereka. Sekarang kami juga sudah berpisah, hanya salah seorang sahabat yang tetap bersamaku saat ini.

Berpindah ke tempat lain, sahabat yang lain pun menyambut. Semakin beranjak dewasa, semakin berbeda juga sikapku dalam menghadapi sahabat-sahabatku. Aku menyadari itu. Aku dan salah seorang sahabatku di tempat yang baru ini dikenal lebih sering bersama dibandingkan dengan sahabat-sahabatku yang lainnya. Suatu waktu kami menonton bersama di kamarku, tertawa bersama dengan sangat lega, saling mengejek tanpa maksud jahat, dan bercerita setelahnya. Aku dan sahabat-sahabatku yang lain juga belajar bersama, saling meneguhkan di dalam iman, menceritakan kisah-kisah keluarga kami, studi, perjuangan-perjuangan kami, setiap kegalauan hati dan juga sukacita yang kami dapatkan. Di waktu yang lain, sahabatku menenangkan aku saat aku begitu tegang menghadapi pengumpulan tugas akhir. Dia meyakinkan aku untuk terus bergerak maju dan tidak menyerah. Saat aku sakit, sahabatku selalu membantu, membawaku berobat dan menemaniku. Sahabat-sahabat lainnya selalu menemani dan mendengarkan saat masalah-masalah yang tengah kuhadapi keluar dengan lancar dari mulutku melalui kata-kata. Aku dan sahabat-sahabatku lainnya juga tergabung dalam grup agar kami dapat saling share dengan lebih mudah sekalipun kami tidak bertemu. Rasanya tidak pernah ada habisnya saat aku menceritakan sahabat-sahabatku. Dan sekali lagi aku ingat untuk bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran mereka.

Seperti yang sudah aku tuliskan di atas, menurutku menjadi sahabat tidaklah mudah karena Tuhan menginginkan sahabat itu menaruh kasih setiap waktu kepada sahabatnya. Saat jarak mulai memisahkan, apakah kita masih menjadi sahabat bagi sahabat lama kita? Apakah perbedaan pendapat atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan sahabat membuat kita enggan untuk tetap memiliki kasih yang tulus murni seperti kasih anak kecil kepada sahabat-sahabat kita? apakah persaingan dan persoalan yang semakin hebat dalam hidup kita membuat kita lupa memaknai "sahabat" tersebut dengan benar? Pertanyaan-pertanyaan ini semoga dapat mengarahkan kepada evaluasi diri yang membawa perubahan baik bagi persahabatan kita. Saat menulis ini pun aku merasa sedang menegur diri sendiri untuk menjadi sahabat yang lebih baik. Aku sadar aku tidak akan mampu menjadi sahabat yang baik dengan hanya mengandalkan diri sendiri. Baiknya dimulai dengan doa agar Tuhan memberikan kasih yang tulus murni ke dalam hati yang menjadi dasar dalam persahabatan.


Rabu, 01 Agustus 2012

Kebetulan?

Mana yang kamu yakini, adanya suatu kebetulan atau kebetulan itu tidak pernah ada, semuanya sudah direncanakan Dia yang di 'atas'? Kalau saya meyakini bahwa semua yang terjadi itu sudah direncanakan olehNya, kadang terasa pahit tapi berbuah manis, dan ada juga yang memang manis dari awalnya. Yang pasti saya percaya Tuhan selalu punya rencana yang tidak pernah 'membosankan'. Walaupun saya meyakini itu, tapi tetap saja saya sering menggunakan kata 'kebetulan' dalam percakapan sehari-hari, hehe... Ya begitulah yaa, mau bagaimana :D. Berkaitan dengan 'kebetulan' ini saya ada cerita kecil yang cukup menarik.

Elisa yang bekerja membagikan informasi mengenai kegiatan sosial dan menawarkan orang-orang untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial merasa bersemangat sekali memulai harinya pagi itu. Hari yang cerah itu adalah hari ketiganya ditugaskan ke luar kota. Dia masih pegawai baru disana dan sudah dipercaya untuk menjalankan tugas ke luar kota dengan kemampuannya yang tergolong minim di antara pegawai lainnya. Ya bisa dibilang itu suatu kebanggaan tersendiri baginya. Elisa bertekad hari itu dia harus membagikan informasi kepada sebanyak-banyaknya orang yang berlalu lalang di depannya, dan kalau Tuhan berkenan, dia juga berharap bisa mendapatkan donatur. Dua hari lalu dia belum mendapatkan donatur sama sekali, padahal rekan kerjanya sudah mendapatkan cukup banyak donatur. Tapi dia tidak mau terlalu fokus kesana, baginya yang penting adalah evaluasi diri dan lakukan yang terbaik. Waktu terus berjalan, pagi berganti siang, siang berganti sore. Elisa mulai kelelahan, kepercayaan diri mulai berkurang setelah berkali-kali mendapat penolakan oleh orang-orang yang berlalu lalang. Jangankan menjadi donatur, untuk berhenti dan mendengarkan penjelasan saja banyak orang yang enggan. Semangat Elisa terjun bebas ke posisi terbawah. Dia belum benar-benar terbiasa dengan pekerjaan ini, dan sebenarnya dia pun sedang merasa mood-nya tidak benar-benar baik.

Kembali sedikit ke belakang, mengintip kisah Elisa sebelumnya yang membuat mood-nya tidak benar-benar baik. Elisa baru saja putus dari pacarnya. 'Baru' ini sebenarnya sudah beberapa bulan, tetapi masih cukup mempengaruhinya. Saat resah mulai mengganggu, Elisa selalu berusaha menenangkan diri agar tidak terpengaruh, tetapi hari itu dia merasa rindu menyergap hatinya. Rindu yang hanya bisa disimpannya sendiri. Untuk menghubungi saja dia tidak lagi berani. Intinya, dia tidak berdaya. Di tengah ketidakberdayaan itu Elisa terus menuntut dirinya untuk semangat, semangat, dan semangat. Itu memang harus dilakukannya bukan? Tapi hari itu Elisa sampai pada keresahan terdalamnya. Elisa memutuskan untuk istirahat sejenak. Saat istirahat dia berdoa dalam hati dan air mata mengalir mengiringi doanya. "Tuhan, aku hanya ingin bekerja sebaik mungkin hari ini, membantu orang-orang yang membutuhkan. Tetapi semangatku hilang, perasaanku kacau. Aku merindukan orang yang bersamaku dulu, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tuhan, bantulah aku, tolonglah aku Tuhan. Aku ingin memberikan yang terbaik bagiMu." Setelah itu Elisa menarik nafas dalam-dalam, menyantap sedikit makanan untuk mengisi perutnya, dan mulai melanjutkan pekerjaannya. Perasaannya membaik, semangatnya kembali naik, tetapi tidak terlalu banyak karena tubuhnya pun cukup lelah setelah berdiri dan mondar-mandir menyapa setiap orang selama setengah hari.

Jam terus berdetak, tidak mau menunggu, entah Elisa siap atau tidak. Sore berganti malam, tetapi belum mencapai pukul 10 malam, waktu dimana Elisa selesai bekerja. Elisa mengisi pikirannya dengan motivasi yang positif agar tidak kembali down. Tubuhnya semakin lelah, kakinya kebas, punggungnya terasa kaku, senyumnya yang lebar mulai mengecil, dan di sela-sela nafasnya yang teratur Elisa juga menarik nafas panjang-panjang, berusaha melegakan hatinya kembali. Di dalam hati dia berbicara pada Tuhan, "Tuhan, tolonglah aku." dan Tuhan menolongnya. Elisa menarik nafas panjang sekali lagi dan mengambil langkah kecil, lalu menyapa seorang pria berusia hampir 40 tahun yang menggunakan kemeja berwarna biru tua. Sapaan itu disambut. Pria itu menghentikan langkahnya yang terlihat buru-buru dan menjawab Elisa, "Iya?". Elisa mulai berbicara, membagikan info singkat mengenai dirinya dan menanyakan nama pria tersebut. Elisa terkejut mendengar namanya, sama dengan nama mantan kekasih yang beberapa jam belakangan ini mengusik hatinya. Seketika itu juga Elisa merasa lebih 'segar'. Dia membagikan informasi dengan cepat dan singkat kepada pria yang ternyata memang sedang terburu-buru tersebut. Saat ditawarkan untuk ikut berdonasi, tanpa panjang lebar pria tersebut menyetujuinya, memilih donasi yang terbesar, tidak banyak berkomentar dan sangat ramah. Elisa menemukan malaikat bernama "Bram" malam itu, nama yang masih tersimpan di dalam hati dan pikirannya. Nama orang yang dikasihinya. Elisa tersenyum dan menarik nafas lega. "Terima kasih Tuhan untuk "malaikat" yang Kau kirimkan malam ini di tengah kelelahan dan keresahanku," ujarnya dalam hati. Elisa pun melanjutkan pekerjaannya dengan lebih tenang dan semangat.

Apakah kisah Elisa itu suatu kebetulan? Bagi saya itu adalah rencana Tuhan. Menurut kamu bagaimana? Selamat menikmati rencana-rencana Tuhan dalam hidup kita, entah itu terasa pahit atau manis, tapi pasti ada tujuan tersendiri di dalamnya. Semoga kita bisa selalu percaya rencanaNya adalah yang terindah dan terus bersyukur sama Tuhan:-)

Cheers,
:')

Selasa, 01 Mei 2012

Cerita Soal Dewasa

April 2012 baru saja berlalu, artinya empat bulan perjalanan hidup di tahun ini juga berlalu. Berlalunya cepat ya, di tahun ini usia saja akan mencapai 22 tahun. Terlintas dalam pikiran, apa saja sih yang sudah saya kerjakan sejauh ini, khususnya yang memberikan manfaat untuk orang lain? Waktu-waktu yang sudah berlalu mengajarkan saya untuk lebih dewasa, baik dalam iman, maupun dalam sikap dan tingkah laku. Waktu-waktu yang berlalu mengajarkan bahwa kita hidup bukan untuk diri sendiri saja, tapi untuk orang lain, terlebih untuk menyenangkan Dia yang kita percayai.

Kedewasaan bukan sesuatu yang diberikan bulat-bulat ketika usia kita mencapai angka yang lebih besar. Kedewasaan itu diperoleh dengan belajar dari setiap perjalanan hidup, baik yang menyenangkan atau yang dianggap menyedihkan. Kedewasaan itu sesuatu yang didapat dengan 'perjuangan'. Tadinya saya pikir saya sudah cukup dewasa, terutama semenjak saya tidak tinggal dengan orang tua lagi. Tapiii, semenjak memasuki dunia alumni saya dituntut untuk menjadi lebih dewasa dari yang saya pikirkan sebelumnya, entah itu dalam iman, pemikiran, dan tingkah laku. Setiap keputusan yang menyangkut hidup saya kini harus diputuskan sendiri, orang tua tidak lagi mengatur begini dan begitu, mereka hanya memperhatikan, menolong, dan memberi saran, tapi tanggung jawab itu sepenuhnya ada di tangan saya. Pertanyaannya, apakah saya siap? Wow, ternyata begitu 'dilepas', saya berjalan sempoyongan. Tidak mudah ya untuk menjadi dewasa, tapi bukan berarti tidak bisa.

Menjadi dewasa bukan berarti hidup menyendiri atau 'menjauhkan' diri dari orang tua dan keluarga. Justru saat kita bisa memikirkan mereka, menyediakan waktu untuk mereka, dan mengusahakan yang terbaik untuk mereka, saat itulah kita bisa termasuk dalam kategori 'dewasa'. Bagi saya dewasa adalah tahap kehidupan dimana saya tidak berfokus pada diri sendiri saja, tetapi memandang sekitar saya, mampu menerima dan menghadapi situasi yang tidak diharapkan, mampu menjadi 'tumpuan' orang lain, terutama orang-orang yang dikasihi, tahu kapan harus bersikap 'kekanakan' (tetaaap aja pengen bermanja-manja, hehe), mampu mendengar kritikan dan masukan, serta mampu memutuskan yang terbaik untuk dirinya dan orang lain. Uhm, kira-kira begitu definisi dewasa bagi saya, mungkin ada yang memberikan pendapat berbeda, tidak masalah, bisa jadi melengkapi:)

Untuk bisa mencapai kedewasaan yang tidak mudah dicapai itu, saya sadar sepenuhnya harus bergantung sama Tuhan. Dia yang memberi kemampuan, kekuatan, sukacita, dan damai sejahtera dalam menjalani setiap kehidupan dan menentukan arah langkah kita (kalau mau dituntun). Artinya, dewasalah terlebih dahulu di dalam iman agar perjalan menjadi dewasa seutuhnya bisa ditempuh dengan baik. Saat saya percaya ada yang menuntun dan mampu mengendalikan segalanya, kekhawatiran dalam menghadapi perjalanan yang terjal menjadi berkurang dan kemudian hilang. Perasaan itu luar biasa. Menurut saya kedewasaan dalam iman menuntun saya untuk dewasa seutuhnya dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Jika tadi dewasa menurut saya adalah mau memandang sekitar, kemudian kembali pada pertanyaan di atas yang mengusik hati dan pikiran saya: apa saja sih yang sudah saya kerjakan sejauh ini, khususnya yang memberikan manfaat untuk orang lain? Banyak orang yang menginspirasi saya dalam hal ini, termasuk orang tua saya yang penuh kasih mengajarkan anak-anaknya untuk memandang sekitar juga. Papa mengajarkan kehidupan di luar kehidupan 'enak' yang saya jalani selama ini, mama mengajarkan saya memiliki kasih dan kesabaran, juga tidak berkeras hati terhadap hal lain. Intinya mereka sudah pasti menginspirasi saya dalam hal ini, begitu juga dengan abang-abang saya yang sudah saya perhatikan perjalanan hidupnya dari kecil sampai mencapai kedewasaan mereka. Di samping mereka, ada satu orang yang menginspirasi saya untuk lebih dewasa, termasuk memikirkan sesuatu yang dapat memberikan manfaat untuk orang lain. Dia menginspirasi saya melalui cerita tentang keinginannya menjadi pengusaha di bidang yang digelutinya. Dia bersemangat sekali dengan keinginannya itu. Dia memimpikan dapat memberi manfaat bagi orang lain, membantu orang-orang yang kurang mampu dan tidak memiliki pekerjaan. Rasa bangga yang luar biasa menyelimuti hati saat saya mendengar cerita-ceritanya. Namun, semenjak mendengar mimpinya, saya juga tersadar, bagaimana dengan mimpi saya? Saya memikirkannya dan sepertinya mulai mendapatkan jawabannya:)

Waktu-waktu ini berlalu dan saya terus berusaha mencapai titik dewasa. Mimpi-mimpi yang ada dibangun berdasarkan pemikiran yang lebih dewasa. Meskipun tidak bisa langsung sampai pada titik dewasa seutuhnya, tapi saya yakin saya akan mencapainya. Tuhan mengajarkan saya untuk bertahan dan menguatkan hati menghadapi setiap tahap kehidupan ini. Kalau begitu, baiklah, mari kemari, kita lanjutkan perjalanan menuju titik dewasa ini dengan hati yang teguh. Pada akhirnya satu keyakinan saya, tidak ada yang tidak bisa dilalui jika saya bersama Tuhan.