Kamis, 23 Agustus 2012

Bemo Kok Jadi Bajaj..?

Siang yang terik di Bulan Puasa lalu, aku berjalan sendirian terburu-buru menuju stasiun kereta api. Kaki melangkah panjang-panjang karena takut ketinggalan kereta. Sesampainya di stasiun, aku memang ketinggalan kereta. Tepat di depan mata kereta tujuan Tanah Abang melaju meninggalkan stasiun, dan meninggalkanku pastinya. Setelah menarik nafas panjang, aku akhirnya kembali tenang dan bisa menikmati suasana di sekitar stasiun, tapi pikiranku sedang kurang bersahabat saat itu, seperti tidak jelas, mungkin karena ada sesuatu yang cukup menggangguku sebelumnya.

Singkat cerita, aku menghabiskan waktu perjalanan sekitar 20 menit menuju stasiun akhir tujuanku. Dari sana aku masih harus menggunakan kendaraan lain untuk benar-benar sampai di tempat tujuanku. Sebelumnya aku bertanya pada salah seorang sahabat, kendaraan apa yang bisa kunaiki untuk sampai di tempat tujuan tersebut, dan dia menjawab BEMO. Ini harus ditulis dengan huruf kapital biar jelas perbedaannya. Nah, saat aku membaca tulisan itu, terpikirkan satu kendaraan sejenis BAJAJ yang berwarna biru. Tapi aku cukup ragu, sepertinya bukan itu. "Ah, kita lihat saja nanti disana," kataku dalam hati. Saat keluar dari stasiun yang pertama kali kulihat adalah BAJAJ, tapi tidak berwarna biru, melainkan oranye. Aku pun memilih salah satu BAJAJ oranye tersebut dan menyebutkan tujuanku tanpa tawar menawar harga. Sebelumnya lagi, aku juga bertanya pada sahabatku itu, berapa kira-kira biaya yang harus aku keluarkan, kemudian dia menjawab Rp 2.000. Aku heran, apa iya semurah itu. Saat itu yang ada di pikiranku adalah BAJAJ berwarna biru. Sahabatku menyakinkan aku kalau dia serius, tidak bercanda, dan aku percaya.

Dengan santai aku duduk di dalam BAJAJ oranye, menikmati suasana kemacetan di sekitarku. Tidak terasa aku sudah dekat ke tempat tujuan -yang sebenarnya masih bukan tempat tujuan akhirku-, aku menimbang-nimbang lagi berapa biaya yang harus kukeluarkan, apa iya semurah itu? Selama pengalamanku naik BAJAJ beberapa kali, rasanya tidak pernah aku membayar kurang dari Rp 5.000, walaupun jaraknya cukup dekat. "Sepertinya memang dekat sih tempat tujuanku, kalau begitu aku bayar Rp 4.000 saja, dua kali lipat dari yang dibilang sahabatku," kataku dalam hati. Kemudian aku tersenyum. Jujur saja, itu adalah senyum bangga karena aku merasa cukup baik memberikan bayaran dua kali lipat. Hahaa... Manis sekali kurasa senyumku waktu itu, dan untung saja bapak supir Bajaj tidak melihat aku senyum-senyum sendiri seperti itu. Setibanya di tempat yang aku tuju, dengan yakin aku memberikan uang Rp 4.000 yang sudah kulipat rapi kepada Bapak tersebut, lalu Bapak itu bertanya, "Berapa ini?" aku menyebutkan nominalnya. Tanpa berbicara, Bapak supir Bajaj mengembalikan uang yang aku berikan. Aku bingung, seketika itu juga menyadari ada masalah. Raut wajah Bapak itu tidak enak, sambil berkata, "Masa iya empat ribu naik bajaj dari sana?" Bapak tersebut mengemudikan bajajnya dan memarkirkannya di tepi jalan, di deretan bajaj-bajaj lainnya. Waduh, aku jadi jantungan dan sedikit kesal.

Aku menyusul Bapak itu dan bajajnya di tepi jalan. Dengan wajah yang sengaja aku bikin tegas kemudian aku menjawab, "Biasa emang segitu kok Pak dari sana." Eh, jawaban saya malah membuat si Bapak semakin kesal dan mengomel. Walaupun kesal, saya mengikuti kata hati, sepertinya memang ada yang aneh. Lalu tanpa membantah lagi saya bertanya lembut, "Jadi berapa pak?" Si bapak menjawab lima belas ribu rupiah. Kekesalanku kembali muncul, masa iya segitu mahalnya untuk jarak yang tidak terlalu jauh seperti itu. "Ah, engga segitu kok Pak." jawabku, kemudian aku berusaha menekan kekesalanku dan lebih melembutkan suara. "Ini Pak, sepuluh ribu aja ya..," Kataku setengah membujuk sambil memberikan uang sepuluh ribuan. Bapak tersebut masih mengomel-ngomel, mungkin kekesalannya belum habis. Aku merasa sepuluh ribu itu sudah pas. "Udah ya Pak, sepuluh ribu cukup kan? kan lumayan dekat Pak..," aku mulai melangkah perlahan meninggalkan Bapak itu dan bajajnya. Bapak itu masih saja mengomel, tapi raut wajahnya melembut. "Makasih ya Pak," kataku sambil tersenyum dan segera berpaling, mengambil langkah panjang meninggalkan si Bapak dan bajajnya.

Sambil melangkah, aku berpikir, benar apa yang kurasakan, tidak mungkin membayar BAJAJ hanya Rp 2.000. Kemudian aku mengingat sahabatku dan sedikit kesal. Tapi aku tidak yakin harus kesal padanya, sepertinya masalahnya ada di aku. Tanpa berpikir panjang lagi, aku mengirimkan pesan kepadanya, mengatakan aku diomelin Bapak BAJAJ karena membayar dengan jumlah tersebut. Aku memastikan lagi apa benar biayanya segitu. Sahabatku dengan yakin menjawab benar, dan dia menekankan lagi bahwa yang dimaksudnya adalah BEMO, bukan BAJAJ. Sepertinya tirai pembungkus pikiranku mulai terbuka dan aku mengenali BEMO yang dimaksud temanku. Dalam waktu 3 tahun lebih aku memang baru 2 kali menggunakan jasa transportasi BEMO itu. Begitu menyadari keanehanku itu, aku tersenyum geli bercampur miris dan kesal. Beberapa menit kemudian aku nyaris tertawa mengingatnya. Aku jadi menyesal karena sempat kesal dan agak ngotot mengatakan bayarannya yang biasa memang segitu. Oh, sungguh, saat pikiran tidak benar-benar baik lebih baik tidak pergi sendirian, tapi bersama orang yang bisa dipercaya. Dalam hati aku meminta maaf kepada Bapak supir Bajaj dan merasa bersyukur karena kejadian yang aku alami tidak lebih buruk dari itu. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar