Rabu, 08 Agustus 2012

Sahabat

Apakah yang kau pikirkan jika aku mengatakan "Sahabat"? Bagaimana kau memaknai sahabat dalam hidupmu? Bagiku sederhana, sahabat adalah orang-orang yang bersamanya aku merasa nyaman, bersamanya aku dapat membagikan tawa dan tangisku, bersamanya aku tidak perlu malu bermanja-manja, dan tidak terlalu khawatir untuk menunjukkan ketegasan juga kekesalanku. Namun ada juga satu ayat Alkitab mengenai sahabat yang langsung kuingat, yaitu Amsal 17:17 "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." Saat ayat ini muncul lagi dalam pikiranku, aku sadar perlu menggaris bawahi "setiap waktu", kemudian aku merasa ini tidak begitu mudah.

Hmm, coba beralih sebentar dari ketidakmudahan itu. Jika aku mengucapkan kata "Sahabat" sekali lagi, siapakah yang pertama kali muncul di dalam pikiranmu? Awalnya aku langsung memikirkan satu orang, tapi sedetik kemudian nama-nama lain muncul, seperti tidak mau ketinggalan, bahkan wajah mereka juga langsung terbayang. Lebih jauh lagi, aku membayangkan wajah cemberut, sedih, kesal mereka saat namanya terlupakan. Bayangan-bayangan itu membuatku geli. Detik berikutnya, rasa syukur merayap ke dalam hati dan pikiranku karena Tuhan dengan begitu baiknya memberikan cukup banyak sahabat padaku.

Masih tersimpan rapi dalam ingatanku bagaimana persahabatanku sewaktu kecil, saat aku berada di bangku taman kanak-kanak. Aku bersahabat dengan satu orang teman perempuan, tapi tidak berlangsung lama karena dia dan keluarganya pindah ke tempat lain yang aku tidak tahu dimana saat itu. Dia adalah teman sebangkuku, kami mengerjakan tugas bersama, berlomba menjadi yang tercepat dan terbaik, saling membagikan makanan yang kami bawa dari rumah, saling melindungi, dan bermain bersama. Aku tahu pasti aku menyayangi sahabatku ini, dulu aku ingin selalu berbagi dengannya. Sampailah saat dia pindah, aku merasa begitu kehilangan, dan rasa sedih itu terbawa ke dalam mimpiku. Saat aku kembali mengingatnya sekarang, aku merasa cukup tergelitik. Kisah ini membuatku tersenyum, tapi juga menyisipkan pertanyaan evaluasi diri bagiku, "apakah saat ini kau memiliki kasih yang tulus murni kepada sahabat-sahabatmu seperti kasih yang kau miliki sewaktu masih kecil kepada sahabat cilikmu?" Dalam sekejap senyumku lenyap dan mulai memikirkannya.

Aku juga memiliki sahabat lain sejak kecil, sahabat perempuan. Kami bersama sampai bangku menengah pertama. Hal yang paling sering kami lakukan adalah berbagi kebahagiaan dan tawa bersama. Kami sering membuat lelucon-lelucon aneh, menertawai kekonyolan kami dan kekonyolan orang lain. Kami dikenal begitu dekat, selalu bersama saat di sekolah, dan sering janjian untuk jalan bersama. Sepertinya kami tidak terlalu sering berbagi duka karena kami cukup menikmati keseharian kami dalam kebahagiaan. Tapi kami saling menolong dalam pelajaran dan saat sakit. Teman pertama yang akan kucari adalah dia. Di usia kami waktu itu justru kami lebih sering berbagi duka dengan keluarga dan tidak mengumbarnya ke luar. 

Saat memasuki usia remaja kami mulai berbagi cerita mengenai cowok-cowok yang hadir dalam hidup kami. Dan kami bersahabat dengan lebih banyak teman. Kami sering berkumpul bersama saat jam istirahat, dan semakin seru sajalah candaan kami. Kami memiliki diary bersama. Di buku diary itu kami menuliskan semua yang ingin kami ceritakan. Menulisnya secara bergilir. Saat kami kesal kepada satu sama lain dan tidak mengungkapkannya secara langsung, kami menuliskannya disana, kemudian membacanya, membalasnya, dan kekesalan itu pun berakhir. Kebiasaan ini berlangsung sampai buku diary kami penuh. Setelah selesai bangku menengah pertama, kami berpisah dan jarang bertemu. Namun sampai sekarang kami masih mau berkomunikasi. Dari sini aku diingatkan untuk menjadi sahabat yang setia dan lebih banyak membagikan kebahagiaan kepada sahabat-sahabatku.

Saat berpisah dengan sahabat-sahabat sebelumnya, Tuhan tidak pernah berhenti memberikan sahabat-sahabat yang lain, yang penting kita mau membuka hati. Saat aku berpisah dengan sahabat-sahabatku, aku mendapatkan sahabat lainnya. Mereka semua sangat baik. Aku merasa kami berbagi duka dan suka bersama. Aku tidak lagi terlalu konyol dan menertawakan kekonyolan orang lain, mungkin dikarenakan pemikiranku yang lebih dewasa seiring pertambahan usia dan pengalaman hidup, hehe... Kami rutin merayakan ulang tahun bersama-sama. Kami berteman baik dengan teman-teman lainnya. Kami merasa cocok satu sama lain dan aku sendiri merasa sangat nyaman. 

Tidak lepas dari ingatanku saat kami mengikuti kegiatan sekolah bersama. Waktu itu kami pergi ke daerah penelitian hutan bersama teman-teman organisasi lainnya. Aku sedikit membuat kacau disini karena merusak sepeda motor orang lain yang kugunakan. Selain itu tanpa niat dan sama sekali tidak disengaja, aku juga mencelakakan salah satu sahabat yang pergi bersamaku menggunakan sepeda motor itu. Aku menangis dengan sangat hebat sekalipun hal ini tidak terlalu dipermasalahkan pemilik motor. Tapi aku merasa bersalah dan malu. Aku juga tidak tahu harus mendapatkan uang darimana untuk mengganti rugi biaya reparasinya. Di saat seperti itu sahabatku yang terluka justru tidak marah, dia berusaha menenangkanku dan membantu biaya reparasi itu dengan uang yang diberikan mamanya dulu. Sahabatku yang lain tidak pernah menjauh dariku, memelukku, dan menghiburku. Mereka berusaha memikirkan solusinya bersamaku, mengobati luka-luka yang ada di tubuhku, dan mampu membuatku menangis sambil menahan geli. Setiap kali aku mengingat itu dan mengingat ketulusan mereka, rasanya aku ingin berlari memeluk mereka. Sekarang kami juga sudah berpisah, hanya salah seorang sahabat yang tetap bersamaku saat ini.

Berpindah ke tempat lain, sahabat yang lain pun menyambut. Semakin beranjak dewasa, semakin berbeda juga sikapku dalam menghadapi sahabat-sahabatku. Aku menyadari itu. Aku dan salah seorang sahabatku di tempat yang baru ini dikenal lebih sering bersama dibandingkan dengan sahabat-sahabatku yang lainnya. Suatu waktu kami menonton bersama di kamarku, tertawa bersama dengan sangat lega, saling mengejek tanpa maksud jahat, dan bercerita setelahnya. Aku dan sahabat-sahabatku yang lain juga belajar bersama, saling meneguhkan di dalam iman, menceritakan kisah-kisah keluarga kami, studi, perjuangan-perjuangan kami, setiap kegalauan hati dan juga sukacita yang kami dapatkan. Di waktu yang lain, sahabatku menenangkan aku saat aku begitu tegang menghadapi pengumpulan tugas akhir. Dia meyakinkan aku untuk terus bergerak maju dan tidak menyerah. Saat aku sakit, sahabatku selalu membantu, membawaku berobat dan menemaniku. Sahabat-sahabat lainnya selalu menemani dan mendengarkan saat masalah-masalah yang tengah kuhadapi keluar dengan lancar dari mulutku melalui kata-kata. Aku dan sahabat-sahabatku lainnya juga tergabung dalam grup agar kami dapat saling share dengan lebih mudah sekalipun kami tidak bertemu. Rasanya tidak pernah ada habisnya saat aku menceritakan sahabat-sahabatku. Dan sekali lagi aku ingat untuk bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran mereka.

Seperti yang sudah aku tuliskan di atas, menurutku menjadi sahabat tidaklah mudah karena Tuhan menginginkan sahabat itu menaruh kasih setiap waktu kepada sahabatnya. Saat jarak mulai memisahkan, apakah kita masih menjadi sahabat bagi sahabat lama kita? Apakah perbedaan pendapat atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan sahabat membuat kita enggan untuk tetap memiliki kasih yang tulus murni seperti kasih anak kecil kepada sahabat-sahabat kita? apakah persaingan dan persoalan yang semakin hebat dalam hidup kita membuat kita lupa memaknai "sahabat" tersebut dengan benar? Pertanyaan-pertanyaan ini semoga dapat mengarahkan kepada evaluasi diri yang membawa perubahan baik bagi persahabatan kita. Saat menulis ini pun aku merasa sedang menegur diri sendiri untuk menjadi sahabat yang lebih baik. Aku sadar aku tidak akan mampu menjadi sahabat yang baik dengan hanya mengandalkan diri sendiri. Baiknya dimulai dengan doa agar Tuhan memberikan kasih yang tulus murni ke dalam hati yang menjadi dasar dalam persahabatan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar